Catatan D. Supriyanto JN *)
Alhamdulillah, kita bisa bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan. Bulan agung, bulan yang penuh berkah dan ampunan, bulan yang dinanti nantikan umat muslim seluruh penjuru dunia. Puasa Ramadhan, juga bisa dimaknai dengan bulan ‘jihad’. Jihad untuk mengalahkan hawa nafsu.
Tidak sedikit orang yang menjadikan puasa sebagai alasan bermalasan. Sehingga produktivitas pun turun. Padahal Ramadhan adalah bulan jihad. Memaknainya, kita harus memiliki niat dan semangat jihad. Produktifitas mestinya justru meningkat.
Keutamaan puasa pada fase sepuluh awal Ramadhan adalah rahmat. Artinya rahmat atas karunia dan nikmat yang diberikan Allah kepada kita sebagai hambahNya. Kita sebagai manusia harus pandai bersyukur dengan segala karunia kesehatan, kesejahteraan, dan kekuatan yang diberikan Allah salah satunya adalah untuk meningkat etos kerja.
Tujuan puasa adalah agar kita bertakwa. Pada ayat yang memerintahkan puasa disebut la ‘allakum tattaqun (agar kamu bertakwa). Kata takwa tentu mencakupi segala kebaikan yang kita lakukan. Termasuk dalam pekerjaan yang kita geluti sehari-hari bagian untuk mencapai ketakwaaan. Ada yang mengatakan bahwa puasa yang kita lakukan adalah jahitan pakaian ketakwaan kita.
Dalam ibadah puasa, ada tiga nilai pokok: Pertama, adalah adanya sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial sekitar; Kedua, adanya keterkaitan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial (kelompok), dan; Ketiga, lahirnya jiwa keagamaan yang inovatif, kreatif, efesiensi dan inovatif.
Dari ketiga nilai itulah tertanam sejumlah spirit puasa dalam upaya peningkatan produktivitas kerja. Peningkatan produktivitas kerja, satu caranya dimulai selama Ramadhan. Bulan Ramadhan menjadi ujian awal untuk menguji etos kerja seseorang. Jika etos kerja meningkat selama Ramadhan, maka sudah bisa dipastikan secara alamiah bahwa produktivitas kerjanya juga terus meningkat pada bulan-bulan setelah Ramadhan.
Esensi aktivitas kehidupan manusia bermuara pada dua unsur, yaitu unsur ibadah dan maksiat. Semua kita berada pada satu unsur tersebut pada setiap aktivitas kerja yang kita lakukan. Dengan catatan keberadaan kita pada satu unsur itu sangat tergantung pada niat melaksanakan setiap pekerjaan yang kita lakukan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “Sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” Jadi nilai suatu bentuk pekerjaan, bukan hanya dilihat dari kinerja produktivitas, melainkan juga harus dilihat secara holistik dan filosofis dalam niat kebaikan atau keburukan.
Pada bulan Ramadhan semua ibadah akan dilipat gandakan pahalanya. Makanya karena nilai ibadahnya tinggi, sudah pasti setiap orang akan berlomba-lomba untuk beraktivitas dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja yang baik. Bagi yang memahami bulan yang penuh rahmat ini tentu akan meningkatkan berbagai aktivitas (ibadah), dan tentu berusaha untuk mereduksi aktivitas-aktivitas yang memiliki unsur maksiat. Supaya puasa yang dijalani diterima Allah Swt.
Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa setelah kita melaksanakan ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya, kita harus menyikapinya dengan dua maqam, yaitu khauf (khawatir) dan raja’ (harap). Artinya kita harus menjadikan puasa benar-benar sebagai ibadah yang agung dan dapat membawa inspirasi bagi kita, keluarga dan umat secara keseluruhan. Sebagai upaya agar puasa yang kita laksanakan diterima Allah Swt.
Puasa mengandung banyak spirit. Dari berbagai kajian disiplin ilmu, puasa bagi seseorang mengandung banyak manfaat, baik dari segi kesehatan, ekonomi, politik dan pendidikan. Di antara spirit yang tak kalah penting dari esensi puasa adalah meningkatnya etos kerja manusia dalam menjalani rutinitas pekerjaanya.
Setidaknya akan melahirkan lima spirit puasa dalam etos kerja: Pertama, munculnya hubungan spiritual yang erat manusia terhadap Allah. Sehingga menjadikan manusia bersungguh-sungguh dalam peningkatan produktivitas kerja pada bulan Ramadhan;
Kedua, spirit puasa menjadikan manusia menjaga hubungan yang harmonis, selaras dan serasi dengan relasi kerjanya. Baik antara bawahan dengan atasan, maupun antarinstitusi; Ketiga, spirit puasa melahirkan manusia untuk menempuh cara-cara yang “halal” baik dalam menjalani suatu pekerjaan, maupun dalam proses mencari pekerjaan.
Keempat, spirit melahirkan manusia pada level saling menghormati, toleransi dan menyanyangi antar makhluk sebagai pencipta dari Tuhan semesta, dan; Kelima, spirit puasa meningkatnya profesionalisme dalam setiap pekerjaan yang di emban.
Jika setelah Ramadhan, etos kerja dan produktivitas menurun, disiplin kerja dilanggar, maka puasa seseorang itu, tidak dilandasi pada makna filosofis, melainkan hanya bermain pada tataran historis atau ritual semata.
*) Pekerja budaya, penikmat kopi pahit